Sabtu, 04 Februari 2017

BECAK

SETIAP kali pulang ke Yogya, aku selalu saja kagum dgn becak. Iya, becak yang asal katanya berasal dari bahasa Hokkien: be chia yang artinya “kereta kuda”. Alasan kenapa aku suka dgn alat transportasi tanpa polusi itu karena becak adalah favorit kendaraanku dari semasa kecilku, aku bisa nangis meraung2x hanya skdr utk naik becak.

Saat naik becak, jarang kupikirkan bahwa naik becak adalah sebuah penindasan. Naik becak ya naik becak, ada interaksi antara yang menumpang dan yang mengendarai. Ada kegembiraan dalam setiap genjotan baik di diri abang becak maupun padaku. Malah kalau dipikir-pikir, nasibku justru ada di kuasa tangan dan kaki abang becak yang membawaku ke tempat tujuan.

Pada masa aku Sekolah, aku berlangganan mbecak dan disetiap kali mengantarku kami selalu berbincang2x tentang apa saja bahkan terkadang mbah mo menasehatiku dgn kalimat2x bijaknya.

"Kalau kurang, siapapun selalu kurang non. Orang kaya juga selalu kurang, dan dalam hal kekurangan, jangan kita membandingkan dengan mereka yang kelebihan. Tengoklah ke bawah, jangan ke atas. Di bawah kita juga banyak yg hidupnya lebih tidak enak daripada kita. Mereka belum tentu bisa makan seperti kita. Maka mbah bersyukur sebagai tukang becak pun, masih bisa makan”

Mbah mo memberikan cermin sosial padaku, walaupun mbah mo hanya seorang tukang becak ternyata memiliki pemikiran dan pedoman tersendiri yang tidak kalah dari filuf-filsuf tekenal.

“Mbecak” atau mengayuh becak menurut pendapatku disadari oleh para pengayuhnya bahwa bukanlah jalan menjadi kaya. Tetapi “mbecak” berarti rezekinya selalu mengalir tak putus-putus karena menganut “waton urip” yang janganlah diartikan semata “asal hidup” tapi “hidup tanpa memberontak terhadap hidup”.

Tukang becak, mengajarkan kita untuk menerima apa yang diberikan oleh kehidupan, tapi jangan meminta apa yang tak diberikan oleh kehidupan. Sebuah filosofi sederhana, bukan bermakna pasrah, karena konsep “nrimo” sebenarnya mengandung energi perjuangan bagi orang yang mengerti betul makna dan falsafahnya.

Mereka berjuang di tengah kerasnya hidup, kemiskinan yang melingkupinya, bahkan berani hidup tanpa memberontak pada kehidupan. Strateginya adalah memaksimalkan kekuatan-kekuatan unik seperti solidaritas sosial, keberanian, keuletan, integritas, kebaikan hati, pengendalian diri, dan rendah hati. Inilah rupanya yang mampu membuat tukang becak meloloskan diri dari kekejaman dunia.

Yuks ah mbecak...